THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 11 Oktober 2009

TUGAS KELOMPOK

KASUS - KASUS ETIKA BISNIS DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia dewasa ini hidup dalam suatu era yang tidak hanya menakjubkan, akan tetapi juga penuh dengan beraneka ragam potensi dengan arah yang tidak selalu jelas, apakah hidup yang lebih baik atau yang lebih buruk. Artinya ialah bahwa manusia dewasa ini harus menjatuhkan pilihan pada serangkaian nilai yanh hendak dimiliki, dihayati, dan diamallkannya serta bentuk dunia yang bagaimana ynag ingin diciptakan dan dipeliharanya. Yang menjadi sorotan pembahasan makalah ini adalah nilai-nilai moral dan etika, khususnya dalam dunia bisnis, tanpa mengurangi arti pentingnya penerapan nilai-nilai tersebut dalam berbagai segi kehidupan lainnya. Moral berasal dari kata mos dan mores dalam bahasa Latin yang artinya kebiasaan atau cara hidup. Etika berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani yang artinya kebiasaan atau karakter. Istilah moral dan etika sering diperlakukan sebagai dua istilah yang sinonim, namun perlu diperhatikan adanya manusia dalam interaksinya satu sama lain. Tegasnya, etika merupakan suatu studi normatif tentang berbagai prinsip yang mendasari tipe-tipe manusia yang diinginkan. Karena akhir-akhir ini banyak sekali perusahaan atau bisnis yang dijalankan tidak memperhatikan kode etik bisnis padahal sudah ada peraturan atau hukum yang mengatur tentang etika bisnis. Seperti kasus perang tarif, monopoli perusahaan dan sebagainya. Oleh karena itu harusnya kita menjunjung tinggi aturan tentang kode etik bisnis agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan oleh tindakan yang menyimpang.





BAB II
ISI
Dari latar belakang di atas bahwa dalam dunia bisnis sudah banyak yang tidak memperhatikan kode etik yang ada. Untuk lebih jelas tentang pelanggaran yang dilakukan oleh pebisnis di Indonesia akan diberikan beberapa contoh kasus yang berhubungan dengan etika bisnis di Indonesia adalah sebagai berikut :
KASUS 1
MONOPOLI : KASUS PT XYZ
PT. XYZ adalah perusahaan pemerintah yang bergerak di bidang pengadaan listrik nasional. Hingga saat ini, PT. XYZ masih merupakan satu-satunya perusahaan listrik sekaligus pendistribusinya. Dalam hal ini PT. XYZ sudah seharusnya dapat memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat, dan mendistribusikannya secara merata.
Usaha PT. XYZ termasuk kedalam jenis monopoli murni. Hal ini ditunjukkan karena PT. XYZ merupakan penjual atau produsen tunggal, produk yang unik dan tanpa barang pengganti yang dekat, serta kemampuannya untuk menerapkan harga berapapun yang mereka kehendaki.
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga. Dapat disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan. Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Contoh kasus monopoli yang dilakukan oleh PT. XYZ adalah:
1. Fungsi PT. XYZ sebagai pembangkit, distribusi, dan transmisi listrik mulai dipecah. Swasta diizinkan berpartisipasi dalam upaya pembangkitan tenaga listrik. Sementara untuk distribusi dan transmisi tetap ditangani PT.XYZ . Saat ini telah ada 27 Independent Power Producer di Indonesia. Mereka termasuk ABC, DEF, PQR , JKL, dan masih banyak lagi. Tetapi dalam menentukan harga listrik yang harus dibayar masyarakat tetap ditentukan oleh PT. XYZ sendiri.
2. Krisis listrik memuncak saat PT. XYZ memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, XYZ berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU XY dan PLTGU BC
Dikarenakan PT. XYZ memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung pada PT.XYZ , tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
KASUS 2

Cara ABC Bersaing Tak Sehat?

Pembakaran umbul-umbul PQR oleh ABC memang sudah terjadi sepekan lalu. Namun hal itu menyisakan pertanyaan mengapa operator tidak bisa bersaing secara fair. Lebih jauh lagi, timbul pertanyaan apakah iklan operator benar-benar jujur?

Persaingan di bisnis seluler memang sangat ketat. Namun hal yang perlu dicermati yakni ketatnya persaingan jangan menjadi alasan untuk menghalalkan segala upaya dalam bersaing. Operator telekomunikasi seharusnya bisa mengendalikan diri dalam beriklan dan tidak menyerang pihak lawan.

Lihat saja kasus-kasus yang mencuat akhir-akhir ini. Seperti kasus pembakaran umbul-umbul milik PQR oleh orang-orang yang diduga dari operator lain yakni PT ABC . Tak pelak aksi ini pun memancing reaksi Departemen Perhubungan.

Namun tindakan Ditjen Postel yang langsung memanggil dua petinggi ABC dan PQR itu seharusnya tidak hanya disikapi cukup dengan kesepakatan damai kemudian urusan selesai. Setidaknya operator bisa berkaca, bahwa tindakannya dalam bersaing sudah kelewatan. Selain itu di masa mendatang bisa jadi acuan lebih santun berkompetisi.

Alasan ABC bahwa yang melakukan pembakaran bukan karyawannya, janganlah dijadikan kambing hitam. Tentunya agen ABC di lapangan tidak akan mempunyai keberanian jika dari operatornya sendiri tidak memberi isyarat agar melakukan perang dengan operator pesaingnya.

Sudah jamak kita dengar, saat operator akan meluncurkan program baru, harus keluar tenaga ekstra agar iklan di lapangan tidak rusak. Bahkan banyak kejadian, iklan yang dipersiapkan untuk peluncuran program baru raib begitu dipasang di jalanan.

Selain soal spanduk, kasus lain yang mencuat adalah soal iklan ABC yang mengunakan simpanse sebagai bintang iklan dengan penggunaan istilah termurah. Penggunaan istilah termurah pun menimbulkan kontroversi.

Kalau di luar negeri, penggunaan istilah termurah bisa menimbulkan gugatan jutaan dolar oleh konsumen. Terutama jika operator yang bersangkutan tidak dapat membuktikan iklannya memang benar-benar paling murah.

Sementara untuk membuat kondisi termurah ini, banyak faktor yang mempengaruhinya dan masing-masing operator bisa lebih murah dari satu sisi namun tidak dari sisi lain.

Badan Pengawas Periklanan (BPP) menilai ABC menggunakan klaim ''pasti termurah'' tanpa bukti pendukung dan telah melanggar Etika Pariwara Indonesia. Ketua BPP Bp. DEF telah menyurati biro pembuat iklan ABC itu untuk mengevaluasi materinya.


Iklan ABC tersebut terlalu melebih-lebihkan produk kepada masyarakat. Iklan seperti, menurutnya, juga tidak memiliki nilai lebih. “Kalau iklan itu diikutsertakan dalam suatu lomba iklan, saya sih kurang yakin iklan itu bisa menang,“ papar Ridwan.

Upaya Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) agar ABC mengevaluasi iklannya terutama yang menggunakan ikon Sipanse juga layak dijadikan pelajaran.

Pengurus Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Mas STU menawarkan solusi agar operator memperluas coverage dan menyasar pengguna baru agar terlepas dari perang tarif yang ketat.

Dengan tarif telekomunikasi yang terpaksa turun karena persaingan, maka operator harus mengambil langkah strategis. Jika operator ingin revenue terus meningkat, maka beberapa cara harus dilakukan mulai dari meningkatkan promosi, meningkatkan kualitas layanan, serta memperluas coverage.

”Jika tarif turun dan operator tidak membangun perluasan coverage, ya bisa saja bangkrut,” tegasnya. Ia menilai situasi perang tarif seperti sekarang masih dalam iklim yang sehat. Tapi tarif murah yang diberikan operator hanya sebatas gimmick, bukan tarif murah yang sebenarnya.

“Perang tarif dalam pengertian akademik, sebetulnya tidak terjadi. Karena tarif telekomunikasi diatur dengan suatu regulasi. Namun karena operator itu kreatif dan harus menciptakan diferensiasi dari operator lainnya sebagai akibat adanya persaingan, maka melalui upaya promosi dan iklan dibuat "seolah-olah" ada persaingan,” katanya.

Mas Wig mengatakan perang tarif seharusnya menjadi pemicu bagi masing-masing operator meningkatkan kualitas layanan, agar terlepas dari persaingan yang ketat. Selain itu operator juga perlu menambah dan memperluas jaringan. Bukan membuat iklan yang dibuat "seolah-olah" tarif telepon yang ditawarkan murah.

Pengurus BRTI HS mengatakan belum perlu lembaga audit khusus untuk mengecek kebenaran tarif yang diumumkan oleh operator. Konsumen bisa mengecek apakah tarif yang ditawarkan operator sudah sesuai dengan besaran angka yang discharge, setelah berkirim SMS atau melakukan percakapan.

“Jika berbeda, UU Perlindungan Konsumen No 8/1999 jelas menegaskan operator harus memberikan informasi akurat mengenai tarif yang diberikan maupun diskon dan lain sebagainya,” katanya

Heru menegaskan jika tarif yang dikenakan oleh operator dalam iklan ternyata tidak sesuai, maka hukuman berat menghadang. Setidaknya terjadi pelanggaran UU tindak pidana.


KASUS 3

MENDEWASAKAN INDUSTRI TELEKOMUNIKASI
11.30.08 by admin
Bersaing, bagi pelaku industri adalah hal yang wajar. Karena sejatinya semua pelaku industri butuh pesaing (lawan) yang bisa dijadikan pendorong untuk memberikan yang terbaik bagi konsumennya. Itu semua akan terjadi bila pelaku industri telah dewasa, sehingga persaingan yang muncul pun persaingan yang sehat.
Tapi rupanya persaingan yang sehat belum nampak di industri telekomunikasi  seluler. Mau bukti? Baca saja ini. Perselisihan  2 operator selular besar (PQR dan ABC ) minggu lalu – yang dipicu oleh pembakaran materi promosi PQR di daerah Sumatera Utara –  seakan menyadarkan semua pihak bahwa kompetisi di industri telekomunikasi sudah tidak sehat.  Bahkan Dirjen Postel Bp> BYI pun langsung bereaksi dan mengundang pimpinan kedua operator tersebut, untuk menjernihkan masalah yang cukup mencoreng citra industri ini.
 
Perang Terbuka di Billboard
Mencuatnya praktek liar yang dilakukan provider telekomunikasi juga menggambarkan betapa ketatnya persaingan di industri ini. Perilaku tak elok, tak cuma nampak dari area above the lineatau perang iklan yang  kerap bernuansa “saling menyudutkan” layanan pesaingnya. “Adu otot” sesungguhnya  jauh lebih seru di level below the line melalui pencopotan atribut promosi pesaing, dan sebagainya.
Di industri telekomunikasi, praktek-praktek “liar” semacam itu sebenarnya bukanlah hal baru, bahkan sudah terjadi sejak awal 2000-an. Semisal, saat sebuah operator akan meluncurkan layanannya di suatu daerah  baru, ia harus bersiap dan waspada menjaga materi promosinya agar tidak dilucuti oleh operator yang sudah terlebih dulu eksis di wilayah tersebut. Perselisihan pun makin seru  di level distributor dan agen penjualan di lapangan.
Aksi  jegal menjegal seperti itu, sebetulnya juga terjadi di sejumlah industri lain. Di industri pers, misalnya,  ketika booming di bisnis penerbitan  yang didukung konglomerasi pun tak kalah hebohnya. Agen koran bisa saja di”bayar” agar tidak mengedarkan koran pesaing. Atau  ada pihak yang sengaja memborong koran milik pesaing, agar tidak sampai ke tangan pembaca, dan masih banyak lagi praktek-praktek liar di lapangan yang terjadi.
Yang juga tak kalah maraknya adalah perang promosi partai. Misalnya, pagi hari,   atribut partai A dicopot, siangnya spanduk partai B dilucuti, malamnya poster partai C yang jadi korban. Begitulah pemandangan yang jamak terjadi. Mungkin saja itu memang ada  “arahan” dari partai yang bersangkutan, tapi yang lebih sering itu terjadi karena semangat  anggota maupun simpatisan partai tersebut. Apalagi, kini dengan 34 partai yang berebut pemilih, sangat memungkinkan terjadinya gesekan di level lapangan seperti yang sudah kerap terjadi selama ini.
Perlu kedewasaan semua pihak

Saat ini industri telekomunikasi selular di Indonesia telah  memasuki dekade ke 2. Dari sisi sosial ekonomi, efek pembiakan (multiplier effect) yang ditimbulkan oleh industri ini,  sangatlah luar biasa. Kehadiran bisnis telekomunikasi bergerak ini telah menghadirkan lini usaha baru di sektor konten. Belum lagi usaha kecil yang bisa menggerakkan perekonomian rakyat, seperti  agen penjual pulsa, ring tone, asesori hape, sampai hape bekas yang tersebar sampai pelosok.
Dari besaran,  industri ini telah  mampu meraih sekitar 120 juta pelanggan,  sementara dari sisi omzet hingga akhir 2008 ini total diperkirakan akan  mencapai Rp 70 triliun. Industri ini telah tumbuh secara pesat,  berada di jajaran industri papan atas di Indonesia, dan menjadi salah satu industri strategis negara.   Geliatnya, tak cuma menarik bagi investor asing untuk masuk, tapi juga pelbagai pihak untuk sekedar mengais peluang bisnis dari sini. Katakanlah,   para ibu-ibu rumah tangga yang terpikat untuk jualan pulsa isi ulang  untuk sekedar menambah pendapatan rumah tangganya.
Melihat ke dua sisi di atas, rasanya sangat disayangkan jika ke depan, perkembangan (juga persaingannya) di kancah ini diwarnai dengan hal-hal yang kekanak-kanakan seperti yang sudah terjadi.   “Kok niru artis-artis saja yang kerap bertikai melalui media.” begitu komentar sejumlah pihak.
Yang juga perlu disadari adalah bahwa industri ini cukup istimewa, dimana unsur kolaboratifnya sangat besar.  Sudah tidak ada monopoli, yang terjadi justru  kolaborasi, yang mestinya bisa saling menguntungkan. Contohnya,  ketika pelanggan operator X menghubungi pelanggan operator Y, keduanya mendapatkan manfaat bisnis.
Dengan pola bisnis semacam ini, sebenarnya banyak persoalan yang bisa disikapi secara dewasa  oleh para pelakunya.   Karena selama ini mereka juga kerap berkolaborasi dalam perumusan pelbagai kebijakan di industri telekomunikasi. Ada pula organisasi pemersatu  seperti ATSI – Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia,  yang semestinya  bisa menjadi forum  untuk menyelesaikan masalah-masalah tehnis – operasional seperti yang selama ini sudah terjadi, termasuk soal-soal marketing dan sales.
Pertanyaannya, sejauh mana para pelaku di industri  ini mau dan mampu menyikapi pertumbuhannya secara lebih dewasa. Baik  ketika melahirkan program baru, dan mengkomunikasikannya. Juga saat  harus “mendidik” para pelaku bisnis terkait (seperti Content Provider, distributor, agen penjualan, bahkan para vendor pembangunan jaringan), untuk mulai berinteraksi secara dewasa dengan stakeholder-nya.
Nampaknya kunci pendewasaan industri ini tak cukup jika yang memegang cuma para pelaku. Dibutuhkan juru kunci lain yaitu regulator yang mampu melihat arah industri ini ke depan, sehingga bisa melahirkan kebijakan-kebijakan yang antisipasif, yang tak sekedar reaktif..
















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa kasus di atas dapat disimpulkan bahwa :
a. PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan kerugian pada masyarakat. Tindakan PT. PLN ini telah melanggar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
b. Periklanan selalu berusaha agar orang merasa perlu membeli atau menggunakan suatu produk. Hal ini menyebabkan adanya permintaan (demand creation) yang sebenarnya tidak perlu. Permintaan dinilai dibuat-dibuat, menipu, produk tidak benar-benar dibutuhkan&wants dimanipulasi, sebenarnya tidak ada. Periklanan berulang-ulang membentuk dan menggambarkan nilai sosial, mempengaruhi kelompok tertentu yang memang mudah diserang yaitu anak kecil dan para remaja. Periklanan memiliki kekuatan untuk membentuk social trends dan cara orang berfikir serta bertindak. Periklanan juga memiliki kekuatan untuk mendikte orang dalam berperilaku.

Saran
b. Untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat secara adil dan merata, ada baiknya Pemerintah membuka kesempatan bagi investor untuk mengembangkan usaha di bidang listrik. Akan tetapi Pemerintah harus tetap mengontrol dan memberikan batasan bagi investor tersebut, sehingga tidak terjadi penyimpangan yang merugikan masyarakat.
c. Sebuah iklan tidak boleh menyesatkan. Advertiser dan agency iklan harus memenuhi tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Iklan tidak boleh menipu (deception), setiap klaim yang ada harus disertai dasar rasional, tidak menyerang produk lain (menyangkut comparative advertising), bertanggung jawab dalam endorsement (endorser harus terlatih atau berpengelaman untuk membuat pernyataan, harus benar-benar sudah menggunakan produk yang diiklankan), dan bertanggung jawab dalam demonstrasi iklan (jangan sampai menipu masyarakat).



DAFTAR PUSTAKA

www.google.com

http://lppcommunity.wordpress.com/2009/01/08/etika-bisnis-monopoli-kasus-pt-perusahaan-listrik-negara/
http://webforum.plasa.com/showthread.php?t=85314


http://vlisa.com

0 comments: